Masjid Quba, Obrolan Tentang Sejarah, Spiritualitas, dan Nilai Sosial

By Admin


Profesor Oman Fathurahman, ahli filologi UIN Syarif Hidayatullah.

nusakini.com, - Saya memejamkan mata dan menutup muka ketika sekawanan besar merpati yang awalnya tenang di pelataran tiba-tiba terbang rendah berhamburan karena keterkejutan, saat saya melintas membelah kawanan burung merpati yang sedang asyik mematuk remah-remah makanan yang ditaburkan pengunjung.

Merpati-merpati di pelataran Masjidilharam, Masjid Nabawi, Masjid Quba dan masjid lainnya di Tanah Suci seperti menjadi kelengkapan yang selalu hadir menemani jemaah dan berinteraksi dalam sukacita antara jemaah dan kawanan merpati tersebut.

Sekira pukul 7.00 pagi Waktu Arab Saudi dengan suhu udara yang terus menghangat ketika kami tiba di Masjid Quba. Kami, Tim Media Center Haji (MCH) Madinah menuju salah satu kafe kopi di halaman belakang Masjid Quba. Ada janji perbincangan tentang Masjid Quba dan Kota Madinah dengan Profesor Oman Fathurahman, seorang filolog dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Obrolan wawancara kami mencakup sejarah, fungsi sosial, dan perkembangan Masjid Quba, masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah hijrah dari Makkah ke Madinah.

Kilas Balik

Duduk dengan latar Masjid Quba tampak belakang, Oman Fathurahman memulai penuturan ilmiahnya dengan kilas balik sejarah Masjid Quba. Masjid Quba, tutur Oman, adalah masjid yang pertama kali didirikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam ketika Rasulullah beserta para sahabat muhajirin itu pertama kali datang dari Makkah ke Madinah.

Selama 4 sampai 5 hari, Rasulullah beserta para sahabat mampir di perkampungan Bani Amr bin Auf. Kemudian keluarga itu menghibahkan atau mewakafkan --kalau di istilah sekarang-- tanahnya yang waktu itu baru sekitar 1200 meter persegi --perkiraan dalam ukuran sekarang, untuk dijadikan sebagai masjid.

Rasulullah kemudian meletakkan batu pertama pembangunan masjid beserta dengan 3 sahabatnya yaitu Sayyidina Abu Bakar kemudian diikuti oleh Sayyidina Umar bin Khattab dan Sayyidina Utsman bin Affan.

“Lalu, kemana Sayyidina Ali? Kita tahu bahwa Sayyidina Ali itu waktu itu diperintahkan untuk menutupi jejak Rasul ketika mau hijrah, tinggal di Makkah. Sehingga tidak ikut ke Madinah pada saat itu,” terang Oman.

“Masjid Quba ini didirikan pada tahun pertama Hijriah berarti kira-kira kalau masa itu tahun 622 M. Pada masa itu setelah Rasulullah sekitar 12 atau 13 tahun berdakwah di Makkah”, jelas Oman.

Diungkapkan Oman, Masjid Quba ini menjadi sangat penting di dalam sejarah Islam karena apa yang termaktub dalam surat At-Taubah ayat 108. Masjid Quba adalah masjid yang dimaksud dalam ayat itu: “lamasjidun ussisa ‘alat-taqwâ min awwali yaumin aḫaqqu an taqûma fîh”. Artinya, Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama lebih berhak engkau melaksanakan salat di dalamnya.

“Maksudnya adalah Masjid Quba ini, waktu itu adalah masjid yang dirujuk oleh Rasul sebagai masjid yang lebih berhak untuk kita beribadah di dalamnya,” jelas Oman, Kamis (19/06/2025).

Ketika Masjid Quba sudah berdiri, lanjut Oman, orang-orang munafik mendirikan masjid tandingan yang kemudian disebut di dalam Al-Qur’an sebagai Masjid Diror.

“Diror itu masjid yang buruk, masjid yang jelek karena niat mendirikan masjidnya itu untuk menyaingi supaya umat Muslim tidak sholat di Masjid Quba pada saat itu. Maka kemudian diturunkanlah ayat ini”, terang Oman.

Nilai Sosio Historis dan Spiritualitas Masjid Quba

Oman menjelaskan, Masjid Quba menggambarkan banyak hal. Pertama, masjid ini didirikan secara gotong-royong. Kaum Muhajirin datang ke Madinah kemudian bersama-sama dengan kaum Anshar membangun masjid bersama-sama.

“Bahan bakunya saat itu masih sangat sederhana. Dari batu yang ada, kemudian tiangnya juga dari tiang pohon kurma. Atapnya juga barangkali itu dari pelepah kurma dan itu sangat sederhana sekali”, Oman menggambarkan.

“Tetapi Rasulullah memberikan dorongan untuk beribadah di sini. Misalnya dalam satu hadits Rasulullah mengatakan: “Barang siapa yang bersuci dari rumahnya,” maksudnya berwudu, “kemudian datang ke Masjid Quba, kemudian ia melakukan sholat entah sholat wajib entah sholat sunat maka ia akan mendapatkan satu pahala umroh,” terangnya.

Oleh karena itu, imbuh Oman Fathurahman, dianjurkan misalnya dari Masjid Nabawi, bisa jalan kaki menuju ke Masjid Quba, sekitar lima kilometer arah Tenggara Madinah letaknya. “Kemudian jaga wudu dari Masjid Nabawi itu sampai ke sini, sholat tahiyatul masjid, atau sholat dhuha. Kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam adalah melakukan itu,” jelas cendekiawan asal Kuningan, Jawa Barat itu.

Ia mengatakan, hampir setiap minggu dikisahkan bahwa Rasulullah Saw., datang ke Masjid Quba pada hari Sabtu pagi. Keunikan ini yang kaum Muslimin sampai sekarang juga mentradisikan untuk sholat di Masjid Quba pada hari Sabtu pagi.

“Untuk jemaah haji atau jemaah umrah khususnya barangkali datang ziarah ke Masjid Quba mengandung banyak pelajaran. Mengandung pelajaran tentang gotong royong, tentang persatuan, dan terutama tentang niat mendirikan atau melakukan satu kebaikan”, terang Oman Fathurahman.

Mendirikan masjid, jelasnya lagi, kalau dengan niatnya buruk tidak menjadi kebaikan.Sesuai ayat, “innamal a'malu bin niyat. “Mendirikan Masjid Quba itu didirikan untuk takwa — ussisa ‘ala taqwa — sementara masjid yang lainnya, Masjid Diror, yang konon sekarang itu sudah dihancurkan, letaknya kira-kira dua kilometer dari Kuba, karena buruk, masjid itu tidak dirawat dan sampai sekarang tidak ada jejaknya”, jelas Oman.

Pembangunan dan Perubahan Masjid Quba

Dijelaskan Oman, pada awal abad ke delapan era kekuasaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, pada masa Abbasiyah, menara pertama Masjid Quba didirikan. Menara berikutnya hingga empat menara didirikan belakangan.

Perluasan-perluasan kemudian dilakukan pada masa Raja Fahd bin Abdul Aziz tahun 1986. Perluasan dilakukan hingga mencapai dua puluh ribu meter persegi. Hingga sekarang dilakukan perluasan lagi sampai bisa menampung jemaah sekitar enam puluh ribu sampai saat ini, menyesuaikan perkembangan jemaah yang datang dari berbagai negara.

“Pada era Dinasti Mamluk abad ke-13 dibuatkan mimbar dari marmer. Tadi saya lihat di dalam itu mimbar abad ke-13 itu masih ada. Mungkin ada beberapa perbaikan, tapi saya lihat bentuknya itu, kalau lihat dari sejarah Islam itu memang masih seperti itu,” ucapnya.

“Kemudian pada awal abad ke-20 juga ada perbaikan-perbaikan dan perluasan. Sampai tahun 1986 itu ditambahkan menjadi empat menara. Nah kemudian sampai sekarang perluasan-perluasan. Jadi mungkin 4–5 kali sudah terjadi renovasi yang tercatat dalam sejarah”, sambungnya.

Fungsi Sosial Ekonomi

Dalam penjelasannya, Oman mengatakan, dalam haji ada empat aspek, ibadah, ziarah, ijarah atau aspek ekonomi, dan aspek keilmuan. “Dari dulu juga seperti itu. Rasul juga kan memang pebisnis. Nah ini tidak bisa terpisahkan dari sejarah Islam. Selalu ada aspek tijarah, bisnis. Sekarang masjid juga sama. Ekosistemnya itu terbentuk. Syiar-nya itu salah satunya ketika di sekelilingnya itu ada aktivitas ekonomi’, paparnya.

Hanya saja dalam beberapa hal, kata Oman, kemudian Rasul mengingatkan untuk tidak melakukan transaksi di dalam masjid, tetapi di luar masjid. Hal itu menurut Oman, memang menjadi aktivitas sosial yang selalu ada, termasuk di wilayah Masjid Quba. Untuk diketahui, di halaman belakang Masjid Quba saat ini ada kawasan foodcourt yang cukup semarak.

Masjid-Masjid di Madinah dan Arah Kiblat

Masjid Quba didirikan pada tahun pertama Hijriah. Di Era Rasulullah juga ada Masjid Nabawi dan Masjid Qiblatain. Arah kiblat awal Masjid Qiblatain, termasuk Masjid Quba, itu mengarah ke Baitul Maqdis, Yerusalem.

“Jadi ketika Rasulullah membangun masjid ini, konon katanya malaikat Jibril memberikan wahyunya, isyaratnya bahwa arah kiblatnya ke sini, yaitu ke Baitul Maqdis, Yerusalem”, tutur Oman.

Masjid Qiblatain, lanjutnya, mungkin satu-satunya masjid yang di dalamnya masih ada atsar, masih ada bekas arah kiblat yang ke Baitul Maqdis. Pada tahun ke tiga hijriyah, Rasul menerima wahyu ketika sholat zuhur pada Ramadan ke-2 bahwa kiblat dialihkan ke arah Masjidil Haram.

Dikisahkan, Rasul gelisah ketika menghadap ke Baitul Maqdis, Yerusalem. Selalu Rasul imemandang ke atas, ke langit. Maka kemudian turun ayat 144 A.S. Al-Baqarah, yang artinya, “Sungguh, Kami melihat wajahmu (Nabi Muhammad) sering menengadah ke langit. Maka, pasti akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau sukai. Lalu, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Di mana pun kamu sekalian berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Sesungguhnya orang-orang yang diberi kitab benar-benar mengetahui bahwa (pemindahan kiblat ke Masjidilharam) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.”

Masjid, ditegaskan Oman, dijadikan sebagai pusat aktivitas umat Muslim, dalam hal keutamaannya. Bukan soal kemegahan, namun soal keutamaannya telah ditekankan dari sejarah Islam awal.

Pada musim haji, termasuk jemaah umrah, selaian Masjid Nabawi, masjid-masjid lainnya termasuk masjid Quba menjadi pilihan destinasi jemaah untuk berziarah dan salat. Kafe-kafe yang tertata di kompleks halaman belakang mulai buka satu per satu. Kami masih berbincang dengan Profesor Oman Fathurahman, beralih membahas sejarah Kota Madinah dengan dinamika sosial budaya, bahkan politiknya.

Perbincangan terjeda dengan beberapa gawai sebagai alat rekam mengalami over heat. Oman, duduk tenang menantikan perbincangan selanjutnya dengan kami, Tim Media Center Haji. Tak lagi sekedar hangat, panas matahari dan suhu udara kian menyengat. (*)